“Saya sampaikan ini supaya kalian mempunyai kebanggaan dalam memiliki Peradi ini,” kata Otto ketika memberikan pembekalan kepada 730 orang advokat baru Peradi yang baru diangkat di Jakarta, Selasa malam (17/1).
Otto meminta 730 advokat Peradi yang baru diangkat untuk mengetahui tentang Peradi, mulai dari semua organnya, kewenangan, hingga aturan atau AD/ART untuk berjuang mewujudkan Peradi selaku single bar sebagaimana amanat UU Advokat.
Peradi, kerap mendapat kepercayaan untuk mengadakan dan mengikuti berbagai ajang kegiatan organisasi advokat internasional. “Conference di Miami, Sydney, Singapure. Besok kita menerima Malaysia Bar Association. Sebelumnya kita juga menjadi tempat studi banding,” Otto menambahkan.
Sebelumnya, Peradi menjadi tempat studi banding dari berbagai organisasi advokat sejumlah negara dunia, di antaranya Tiongkok, Korea, Jepang, dan Vietnam karena mereka telah tahu kapasitasnya. “Sebelum mereka datang, mereka berkomunikasi dengan duta besarnya. Duta besarnya kontak saya mau datang ke sini,” ujar Otto.
Mempertahankan Single Bar
Merupakan amanat UU Advokat, Peradi telah mendapatkan pengakuan dari berbagai organisasi dunia, seperti International Bar Association (IBA), Law Asia (The Law Association and The Pasific), dan President of Law Associations of Asia (POLA).
“IBA dari seluruh dunia, hanya satu yang mewakili negaranya. Yang mewakili Indonesia itu Peradi. Tidak ada yang lain dan tidak mudah. Kita diterima bulat sebagai anggota IBA,” Otto menegaskan.
Begitupun di Law Asia, hanya Peradi di bawah kepemimpinannya yang mewakili organisasi advokat Indonesia. Sedangkan di POLA, awalnya Ikadin yang menjadi wakil Indonesia. Kebetulan, saat itu Otto masih menjadi ketua umum. “Saya menyerahkan hak Ikadin sebagai anggota POLA kepada Peradi karena saya sadar Peradi adalah bar association national kita,” terang Otto.
Adapun Otto meminta 730 advokat Peradi yang baru diangkat untuk mengetahui tentang Peradi, mulai dari semua organnya, kewenangan, hingga aturan atau AD/ART untuk berjuang mewujudkan Peradi selaku single bar sebagaimana amanat UU Advokat.
Dahulu, pasca-Indonesia merdeka hanya advokat yang belum mempunyai UU, meski secara de-facto sudah ada advokat bersama penegak hukum lainnya, yakni polisi, jaksa, dan hakim. “Kita tidak punya payung hukumnya, sehingga tujuan dan legal standing kita itu tidak jelas waktu itu,” kata Otto.
Bersama sejumlah advokat dan DPR, ia kemudian berjuang untuk membentuk UU Advokat. DPR melakukan studi banding ke Belanda, begitu juga sejumlah advokat termasuk Otto melakukan hal yang sama.
DPR dan advokat akhirnya sepakat untuk memutuskan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 bahwa sistem organisasi advokat yang dianut di Indonesia adalah single bar, yakni satu-satunya organisasi advokat yang memiliki kewenangan tunggal untuk mengatur advokat. Single bar, juga dianut oleh hampir semua negara dunia.
“Ketika ditetapkan single bar, tidak ada satu pun fraksi di DPR yang dispute. Semua advokat dan organisasi yang memperjuangkan, semuanya sepakat harus single bar. Seluruhnya sepakat, single bar is a must. Di seluruh dunia ini, tidak ada negara menggunakan sistem multibar, misalnya Amerika, Singapura, bahkan Jepang sekalipun, ada Jepang Federation Bar Association, dia tidak multibar. Presidennya, Akimura, mengatakan, negara kita federasi tapi sistemnya kita adalah single bar,” ucap Otto.
Setidaknya, ada dua alasan utama untuk menerapkan single bar. Pertama, prinsip mendasar bahwa advokat merupakan primus inter pares: ‘the best among the best’. Jika bukan merupakan yang terbaik di antara yang terbaik, klien—dalam hal ini rakyat pencari keadilan—dapat menjadi korban. Misalnya, karena tidak menguasai hukum atau perundang-undangan, klien yang harusnya menang dalam perkara menjadi kalah. Itu sebabnya advokat harus menjadi yang ‘terbaik’, profesional, berintegritas, dan berkualitas.
Single bar atau wadah tunggal menjadi cara, agar advokat memiliki standarisasi kompetensi kualitas yang baik. Sebaliknya, multibar akan menyebabkan disparitas kualitas advokat. “Di sini standardisasi nilainya B itu lulus misalnya, di sana [organisasi lain] tidak perlu ujian, lulus. Nilai 3 bisa lulus. Ujian 100 yang lulus 300. Sehingga standar advokat menjadi rendah,” Otto melanjutkan.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan amanat UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas advokat Indonesia.
Alasan kedua, pengawasan. Jika tidak ada pengawasan, para advokat akan bertindak sesuka hati, atau paling tidak, tindakannya berpotensi merugikan kliennya. Tindakan itu tidak bisa dihukum, sebab jika dipecat dari satu organisasi advokat, ia dapat pindah ke organisasi lain seperti yang terjadi sekarang.
“Kalau multibar, kita seperti di hutan belantara. Itu sebabnya di UU Advokat memerintahkan seluruh advokat yang diangkat wajib menjadi anggota Peradi. Sedangkan untuk menjadi anggota Peradi, harus menempuh ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Namun, ketentuan UU Advokat ini dilanggar oleh Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, sehingga di luar Peradi menjadi bisa mengajukan penyumpahan advokat ke Pengadilan Tinggi (PT),” pungkas Otto.