LHP Law Firm

Hubungi Kami

+62-21 29022092 - 93

BILATERAL INVESTMENT TREATIES: PERLINDUNGAN INVESTASI TERHADAP ASING

Perkembangan zaman telah membuat batasan-batasan antar dunia semakin kabur. Kondisi ini membuat terjadinya interdependensi antar negara, salah satunya dalam aspek investasi. Di Indonesia, investasi lintas negara adalah satu program kerja yang gencar dijalankan oleh pemerintah, yaitu sebagaimana pernyataan Presiden RI dalam berbagai kesempatan seperti dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste, Presiden RI menyatakan “perlunya pembahasan mengenai pengembangan kawasan ekonomi di wilayah perbatasan antara NTT dan Oecusse… dan kita sepakat untuk mendorong dimulainya perundingan pembentukan Bilateral Investment Treaty”. Serta baru-baru ini dalam pertemuan bilateral antara Indonesia dan Kenya pada Agustus 2023, Presiden RI kembali menyampaikan perlunya dibentuk Bilateral Investment Treaty antara kedua negara (Indonesia dan Kenya)”, sehingga atas pernyataan-pernyataannya tersebut dapat disimpulkan jika investasi lintas batas dengan instrumen Bilateral Investment Treaty (“BIT”) atau yang dikenal sebagai Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (“P4M”) merupakan salah satu dari beberapa instrumen penting dalam pelaksanaan investasi lintas negara.

 

Gambar 1. Bilateral Investment  Treaties (BIT) / Perjanjian  Sebagai Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) Sebagai Perjanjian Bilateral Antar Negara.

BIT / P4M merupakan perjanjian bilateral yang mengikat secara hukum antara 2 (dua) negara dalam menetapkan perlindungan dengan sifat timbal balik dan promosi investasi di kedua negara. BIT / P4M memiliki peranan penting dalam mewujudkan perlindungan terhadap asing (Aliens) yang berinvestasi di negara penerima modal (Host State). Dengan dibentuknya BIT telah membuka peluang dan kesempatan masuknya penanaman modal asing dengan cara langsung (direct investment) dengan harapan dapat berdampak positif terhadap ekonomi suatu negara.

Melihat kepada sejarahnya, BIT / P4M mulai muncul sejak abad ke-17 dengan dipelopori oleh negara-negara di Eropa. Sementara di Indonesia, sejarah penandatanganan BIT dimulai pada masa orde baru dan setelah diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.  Saat ini BIT / P4M merupakan sumber hukum internasional yang banyak digunakan dan dianggap dapat melindungi investor asing dalam berinvestasi di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara berkembang yang telah menandatangani setidaknya 74 BIT per Oktober 2023, dan diketahui akan terus membentuk BIT dalam rangka meningkatkan promosi dan proteksi dalam investasi. Berdasarkan data pada UNCTAD, diketahui BIT / P4M yang telah ditandatangani antara lain:

 

No.

Parties

No.

Parties

1

Indonesia ~ Switzerland [2022]

38

Indonesia ~ Mongolia [1997]

2

Indonesia ~ United Arab Emirates [2019]

39

Indonesia ~ Turkey [1997]

3

Indonesia ~ Singapore [2018]

40

Indonesia ~ Jordan [1996]

4

Indonesia ~ Serbia [2011]

41

Indonesia ~ Uzbekistan [1996]

5

Indonesia ~ Libya [2009]

42

Indonesia ~ Sri Lanka [1996]

6

Guyana ~ Indonesia [2008]

43

Indonesia ~ Ukraine [1996]

7

Indonesia ~ Russian Federation [2007]

44

Finland ~ Indonesia [1996]

8

Denmark ~ Indonesia [2007]

45

Indonesia ~ Pakistan [1996]

9

Finland ~ Indonesia [2006]

46

Argentina ~ Indonesia [1995]

10

Indonesia ~ Iran [2005]

47

Indonesia ~ Suriname [1995]

11

Indonesia ~ Singapore [2005]

48

Indonesia ~ Kyrgyzstan [1995]

12

Indonesia ~ Tajikistan [2003]

49

Indonesia ~ Spain [1995]

13

Indonesia ~ Saudi Arabia [2003]

50

China ~ Indonesia [1994]

14

Bulgaria ~ Indonesia [2003]

51

Indonesia ~ Lao People [1994]

15

Germany ~ Indonesia [2003]

52

Indonesia ~ Slovakia [1994]

16

Croatia ~ Indonesia [2002]

53

Indonesia ~ Turkmenistan [1994]

17

Indonesia ~ Philippines [2001]

54

Indonesia ~ Netherlands [1994]

18

Indonesia ~ Venezuela [2000]

55

Indonesia ~ Malaysia [1994]

19

Indonesia ~ Qatar [2000]

56

Egypt ~ Indonesia [1994]

20

Algeria ~ Indonesia [2000]

57

Australia ~ Indonesia BIT [1992]

21

Indonesia ~ Korea [2000]

58

Indonesia ~ Poland BIT [1992]

22

Chile ~ Indonesia [1999]

59

Indonesia ~ Sweden [1992]

23

Indonesia ~ Mozambique [1999]

60

Hungary ~ Indonesia [1992]

24

Cambodia ~ Indonesia [1999]

61

Indonesia ~ Tunisia [1992]

25

Indonesia ~ Jamaica [1999]

62

Indonesia ~ Norway [1991]

26

Indonesia ~ Zimbabwe [1999]

63

Indonesia ~ Vietnam [1991]

27

India ~ Indonesia [1999]

64

Indonesia ~ Italy [1991]

28

Czech Republic ~ Indonesia [1998]

65

Indonesia ~ Korea [1991]

29

Indonesia ~ Yemen [1998]

66

Indonesia ~ Singapore [1990]

30

Indonesia ~ Thailand [1998]

67

Indonesia ~ United Kingdom [1976]

31

Indonesia ~ Sudan [1998]

68

Indonesia ~ Switzerland [1974]

32

Bangladesh ~ Indonesia [1998]

69

France ~ Indonesia [1973]

33

Cuba ~ Indonesia [1997]

70

Belgium ~ Indonesia [1970]

34

Indonesia ~ Syrian Arab Republic [1997]

71

Indonesia ~ Norway [1969]

35

Indonesia ~ Romania [1997]

72

Germany ~ Indonesia [1968]

36

Indonesia ~ Morocco [1997]

73

Indonesia ~ Netherlands [1968]

37

Indonesia ~ Mauritius [1997]

74

Denmark ~ Indonesia [1968]

Tidak dipungkiri, perkembangan BIT / P4M didukung juga oleh faktor mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur di dalam BIT / P4M. Hal ini terkait dengan Konvensi International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada tahun 1965 yang telah membawa perubahan terhadap investasi dunia. Konvensi ICSID ini dipelopori oleh situasi ekonomi dunia di era 1950-an, yaitu pada saat negara-negara berkembang melakukan nasionalisasi perusahaan asing di negara host state. Akibatnya, aliens sebagai investor asing terdampak atas konflik ekonomi yang terjadi dan menimbulkan sengketa antar host state dan aliens. Sehingga untuk menengarai ini, pada 14 Oktober 1966 Bank dunia membentuk suatu badan penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai “The Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (“ICSID”) yang bertempat di Washington, yaitu atas Konvensi Washington 1965 terkait Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (“Washington Convention 1965”), dengan bertujuan untuk menengarai permasalahan sengketa penanaman modal asing.

Pasca pembentukan ICSID, pemerintah Indonesia melalui Undang – Undang No. 5 tahun 1968 Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal (“UU No. 5 tahun 1968”) telah meratifikasi Washington Convention 1965, yaitu melalui Pasal 2 yang menyatakan bahwa pemerintah berwenang dalam hal memberikan persetujuan sehubungan dengan perselisihan terkait penanaman modal diantara Host State dengan Aliens yang diputuskan melalui konvensi dimaksud dalam UU tersebut, serta untuk mewakili RI atas perselisihan dengan hak substitusi. Selain itu, dalam Pasal 3 pemerintah juga menyatakan pengakuannya terhadap putusan Mahkamah Arbitrase dalam Washington Convention 1965 tersebut, yang tata cara prosedur pengakuannya memerlukan surat pernyataan dari Mahkamah Agung yang kemudian diteruskan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Pengadilan Tinggi pada daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.

Gambar 2. Investor-State Dispute Settlement (ISDS) Merupakan Salah Satu Klausul Dalam BIT.

Dengan diratifikasinya Washington Convention 1965 ke dalam hukum nasional, maka Indonesia mengakui ICSID merupakan Arbitrase Komersial Internasional tempat penyelesaian sengketa penanaman modal. Selain itu, sebagai wujud perlindungan terhadap aliens, Indonesia selaku host state juga mengambil andil dalam mewujudkan standar-standar investasi dengan mengakui ICSID sebagai tempat penyelesaian sengketa atas BIT. Apabila aliens yang telah menanamkan modal pada host state merasa haknya dirugikan, maka sesuai dengan BIT telah diatur standar-standar perlindungan investasi termasuk di dalamnya terkait mekanisme penyelesaian sengketa yang mensejajarkan level/status investor dan negara yang dikenal sebagai “Investor-Dispute Settlement” (“ISDS”). Sehingga dengan adanya klausul ISDS aliens dapat mengajukan penyelesaian perselisihan termasuk melalui ICSID selaku lembaga penyelesaian sengketa internasional yang masuk ke dalam kategori Arbitrase Komersial Internasional.

Pada prinsipnya, klausul ISDS memungkinkan pengaturan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri host state, ataupun forum internasional ICSID dan The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan forum lainnya. Namun untuk aliens dapat menempuh penyelesaian secara arbitrase terhadap suatu negara, negara tersebut harus terlebih dahulu menjadi anggota Washington Convention 1965 dan meratifikasinya ke dalam hukum nasional negara tersebut. Selain itu tidak hanya menjadi anggota ICSID maka secara otomatis host state dapat digugat oleh aliens, melainkan diperlukan persetujuan (consent) diantara para pihak untuk menempuh penyelesaian sengketa secara arbitrase di ICSID. Consent ini bersifat perjanjian tertulis yaitu melalui satu dari tiga cara sebagai berikut:

  1. Kesepakatan langsung antar pihak yang dituangkan dalam klausula tentang penyelesaian sengketa dalam kontrak;
  2. Melalui aturan perundang-undangan di negara host state;
  3. Perjanjian antara negara tuan rumah dan negara investor, yaitu termasuk dalam pembentukan BIT.

Di Indonesia, consent dapat ditemukan dalam Pasal 32 ayat (4) Undang – Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU No. 25 tahun 2007”) yang mengatur “Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus  disepakati oleh para pihak.” Dengan adanya pengaturan ini, maka setiap permasalahan/sengketa di bidang penanaman modal antara Indonesia selaku host state dengan aliens, akan di-exercise melalui forum arbitrase yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik dalam kesepakatan langsung antar pihak, maupun yang telah diatur dalam klausul ISDS dalam BIT.

Selain itu, dalam Pasal 35 juga mengatur: “Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.” Sehingga sudah tidak dipungkiri Indonesia tetap akan terikat dengan tiap – tiap perjanjian internasional  yang telah disepakati (khususnya di dalam bidang penanaman modal), meskipun telah dilakukan amandemen terhadap UU No. 25 tahun 2007. Serta baru akan berhenti pada saat berakhirnya perjanjian internasional tersebut.

Dengan demikian Klausul ISDS dalam suatu BIT / P4M telah memberikan kesempatan bagi aliens yang merasa haknya dilanggar oleh host state untuk dapat menyelesaikan sengketanya melalui forum yang telah disepakati bersama dalam BIT, maupun melalui kesepakatan antara para pihak. Adapun salah satu forum yang dapat diajukan oleh aliens adalah melalui lembaga Arbitrase Internasional seperti ICSID dengan memperhatikan adanya unsur consent dari para pihak. Dengan adanya klausul ISDS, maka host state telah memberikan perlindungan investasi kepada aliens dalam rangka penanaman modal di host state, yaitu upaya penyelarasan level/status aliens dengan host state.

 

References

Batara Mulia Hasibuan. (2017). Investasi Dan Sejarah Perkembangan Investasi Asing Di Indonesia.  Diperoleh tanggal 1 Oktober 2023, dari https://business-law.binus.ac.id/2017/02/19/investasi-dan-sejarah-perkembangan-investasi-asing-di-indonesia/

Huala Adolf. (2002). Arbitrase Komersial Internasional, (hlm. 10). Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Jakarta.

Ida Bagus Rahmadi Supanca. (2006). Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, (hlm. 1-2). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Indonesia for Global Justice. (2014). “Negara vs Korporasi” Indonesia Bilateral Investment Treaties (BITs), (hlm. 5). Jakarta: Indonesia for Global Justice 2014.

Jan Ole Voss. (2011). The Impact of Investment Treaties on Contracts between Host State and Foreign Investors, (hlm. 53). Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. 

Kavaljit Singh, (2016). Rethinking Bilateral Investment Treaties: Critical Issues and Policy Choices, Both Ends, (hlm. 1). Netherland.

Kominfo, (2023). Presiden Dorong Pembentukan Preferential Trade Agreement Indonesia-Kenya”. Diperoleh tanggal 20 September 2023 dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/50948/presiden-dorong-pembentukan-preferential-trade-agreement-indonesia-kenya/0/berita

Lauge N. Skovgaard Poulsen, (2011). Sacrificing Sovereignity by Chance: Investment Treaties, Developing Countries, and Bounded Rationality, (hlm. 29). London: The London School of Economics and Political Science. 

Moch Basarah, (2011), Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional Dan Modern, (hlm. 38-29) Yogyakarta: Genta Publising. 

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, (2023). Presiden Jokowi dan PM Timor Leste Dorong Pembentukan Perjanjian Kerja Sama Investasi Bilateral.  Diperoleh tanggal 20 September 2023 dari https://setkab.go.id/presiden-jokowi-dan-pm-timor-leste-dorong-pembentukan-perjanjian-kerja-sama-investasi-bilateral/

UNCTAD, (2023). Internasional Investment Agreement Navigator: Indonesia, Diperoleh tanggal 2 Oktober 2023 dari https://investmentpolicy.unctad.org/international-investment-agreements/countries/97/indonesia

Undang – Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 

Undang – Undang No. 5 tahun 1968 Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal

Undang Undang No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

 

Have Any Question Please Contact

Suwardi, S.H

Associate

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *